Rabu, 22 September 2010

halalkah?


Halalkah...??

Sun, 28th September 2009 at 11:24am by Sonny Kusumasondjaya


Aku suka kuliner. Suka makan enak. Dan aku juga senang memasak - sebagian besar masakanku berhasil (artinya hasil akhirnya sesuai dengan niat awalnya - bukannya niatnya bikin soto jadinya gule..) meskipun jurus andalanku masih berdasarkan jurus "Bismillah". Salah satu keuntungan yang aku rasakan dengan hobi kuliner ini adalah aku jadi punya pemahaman yang cukup luas tentang makanan halal.

Makanan halal..?? Emang penting ya..?? Sebagian besar temanku memang tidak terlalu peduli pada kehalalan hidangan yang mereka konsumsi. Asal bukan daging anjing atau babi sih, buat mereka "hajar aja bleh..!!" Tapi, aku peduli banget untuk alasan yang berhubungan dengan keyakinan alias agama.

Ketika kali pertama aku menginjakkan kaki ke Sydney - tempat pertama di luar Indonesia yang aku datangi - aku sempat was was. Apakah aku bisa mendapatkan makanan halal dengan mudah di negara yang sebagian besar penduduknya (75%) adalah kaum atheis dan agnotis..? Ternyata, aku malah mendapatkan kemudahan yang luar biasa karena beberapa restoran bersedia melakukan sertifikasi halal untuk menu yang mereka hidangkan. Jadi, kalau aku mau mengetahui restoran mana yang menyediakan menu yang disertifikasi halal oleh MUI-nya Australia, aku tinggal melihat tanda halal yang terpasang di etalase atau kaca depan restoran tersebut. Kalau perlu, aku bisa melihat sertifikat halal yang biasa dipajang di dinding restoran tersebut. Bukan hanya sertifikat kehalalan menu dan proses pengolahan masakannya, tapi juga kehalalan daging yang digunakan oleh restoran tersebut.

Begitu juga ketika aku berkunjung ke Oxford, kota pendidikan tertua di Inggris. Informasi tentang restoran halal dapat dengan mudah aku temui di Internet. Atau ketika aku mencoba makan di sebuah Restoran Khas Mongolia di Singapore, dengan ramah pelayan restoran menunjukkan padaku sertifikat halal yang dikeluarkan oleh MUI-nya Singapore. Atau ketika aku dan beberapa teman (laki-laki dan perempuan) jalan-jalan di Orchard Road dan masuk ke gerai Bread Talk, dengan serta merta pelayan toko menghampiri kami dan berkata kalau roti mereka (roti Bread Talk di Singapore, lho.. bukan yang di Indonesia) tidaklah halal bagi umat Islam. Pelayan tersebut berinisiatif demikian karena melihat dua orang dari kami mengenakan jilbab - dan itu memang biasa mereka lakukan pada pengunjung mereka. Seorang teman pernah mendapat jawaban lugas dari Krispy Kreme - toko donat terkenal di Australia yang pada awalnya diyakini sebagai produk halal karena hanya menggunakan bahan nabati - bahwa mereka tidak bisa menjamin kehalalan produk donat mereka karena dalam proses produksi rhum digunakan untuk pelapis donat tersebut agar nampak lebih glossy dan beraroma lebih harum.

Sebagian besar pelaku bisnis makanan dan minuman di luar negeri memang cukup akomodatif terhadap kebutuhan spesifik akan kehalalan makanan. Lalu, apakah hal yang sama berlaku di Indonesia..??? Apakah pengusaha roti, bakery, restoran, dan yang sejenisnya bersedia mengakui kalau produk yang mereka tawarkan tidaklah halal..?? Coba kita bahas satu persatu.


DAGING
Daging dikatakan halal bukan hanya karena jenisnya (sapi, ayam, bebek, dan lain-lain), tapi juga dari cara pemotongannya. Pusat pemotongan daging di Indonesia sudah dijamin kehalalannya oleh MUI. Tapi bagaimana dengan daging impor..? Dari sini, terus terang saja aku sangat meragukan kalau restoran yang menghidangkan menu dengan bahan daging impor adalah halal untuk aku santap. Restoran masakan Eropa, termasuk Ribs, Prime Steak, Boncafe, dan yang sejenisnya, menghidangkan pilihan menu dengan daging impor dari Australia dan New Zealand. Mengapa aku ragu akan kehalalan daging tersebut..?

Supplier daging yang mendapat sertifikasi halal di Australia sangat terbatas. Apalagi di New Zealand. Supply yang terbatas itu membuat harga daging halal cenderung lebih tinggi dibandingkan daging sapi atau ayam non-halal. Nah, kira-kira, apa ya mau pebisnis resto di Indonesia mengimpor daging sapi atau ayam atau kalkun dengan harga mahal sementara sebagian besar supplier daging di Australia dan New Zealand justru menyediakan daging yang sama dengan harga jauh lebih murah - meski tanpa sertifikat halal...??

ANGCIU
Angciu adalah arak yang digunakan untuk memasak, dengan kadar alkohol antara 13-20%. Angciu atau arak biasa digunakan untuk masakan seafood dan masakan cina (chinese food), terutama yang dimasak dengan cara digoreng. Nasi goreng dan mie goreng di restoran chinese food adalah masakan yang sangat dikenal seringkali menggunakan angciu sebagai penambah aroma. Sedangkan masakan seafood memang sudah diketahui sebagian besar menggunakan angciu untuk menghilangkan rasa amis makanan laut yang dimasak. Informasi ini diperkuat dengan pengakuan pemilik warung tenda penyedia menu seafood ketika diwawancarai beberapa tabloid kuliner yang mengupas resep andalan mereka. Termasuk juga pemilik warung tenda seafood di sekitar Ubaya, di sekitar Dharmahusada Indah, dan warung tenda seafood lain di Surabaya dan kota-kota lainnya.

MIRIN dan SAKE
Restoran Jepang dikenal selalu memasukkan mirin dan sake dalam menu andalan mereka. Mirin dan sake adalah alkohol yang dihasilkan dari beras dengan kadar alkohol dari 13% sampai 50%. Sebagian resto Jepang mencoba mengelabui pembaca tabloid kuliner dengan menyebutkan mirin dan sake sebagai cuka beras. Mirin dan sake digunakan tidak hanya untuk penyedap rasa pada masakan yang ditumis, tapi juga digunakan sebagai bumbu perendam untuk masakan yang digoreng. Menu udon, sushi, teppanyaki, teriyaki, tempura, yakitori, dan masakan lainnya semuanya mengandung mirin dan sake. Lebih jauh lagi, mie ramen yang juga banyak ditawarkan di restoran Jepang kebanyakan dibuat dengan menggunakan kaldu babi.

KALDU & MINYAK BABI
Selain masakan Jepang yang banyak menggunakan kaldu dari tulang babi untuk membuat mie dan untuk bahan kuahnya, masakan cina juga banyak yang memanfaatkan kaldu dan minyak babi sebagai penyedap. Yang banyak dikenal orang mungkin, selain menu-menu chinese food yang digoreng seperti nasi goreng, mie goreng, dan capcay, minyak dan kaldu babi juga biasa ditambahkan pada menu seperti pangsit mie atau mie ayam. Mie Gili, Mie Tidar, dan beberapa warung mie ngetop di Surabaya dikenal menggunakan babi sebagai penyedap rasa. Bahkan, aku pernah mendapat informasi yang sangat mengejutkan bahwa penjual nasi dan mie goreng yang keliling kampung dengan mendorong gerobak pun banyak yang menggunakan minyak babi untuk penyedap rasa. Informasi ini justru aku peroleh dari seorang penjual mie goreng di sekitar rumahku. Mau bukti...??? Boleh, kalau kalian mau melihat apakah penjual nasi dan mie goreng di kampung kalian menggunakan minyak babi atau tidak, hitung saja jumlah botol yang digunakan sebagai bahan penyedap masakan. Biasanya sih, kalo menu nasi atau mie goreng kan perlunya botol kecap manis, kecap asin, saos tomat (kalo nasi goreng), saos tiram, kecap ikan, dan saos rajarasa. Minyak wijen jarang digunakan penjual nasi dan mie goreng keliling untuk mengharumkan masakan karena harganya yang cukup mahal untuk ukuran mereka - paling tidak, kata mereka, minyak babi harganya jauh lebih murah dan aromanya jauh lebih harum dibandingkan minyak wijen.

WINE
Wine selalu digunakan untuk masakan Eropa, baik sebagai perendam untuk membuat daging lebih lunak maupun sebagai penyedap rasa dan aroma. Restoran steak dan masakan Eropa lainnya tidak mungkin melepaskan wine dari daftar resep mereka. Yang mengejutkan, hidangan salad yang terdiri dari sekumpulan sayur dan buah ditambah mayones atau aneka saus juga menggunakan campuran wine untuk membuat sayur dan buah terasa lebih segar. Jadi, apakah menu salad selalu halal..??? Hehehe, jawab sendiri aja ya..

Wine dan berbagai turunannya, seperti Brandy, Cognac, Wiski sering juga digunakan dalam proses pembuatan kue, terutama kue taart. Tiramisu, black forest, dan berbagai jenis tart coklat selalu memasukkan brandy baik dalam adonan kuenya, maupun sebagai campuran lapisan coklat maupun selai yang dioleskan di antara lapisan kue.

RHUM
Rhum adalah alkohol yang dihasilkan dari gula. Rhum dengan kualitas tertinggi biasa dihidangkan sebagai minuman di acara-acara formal. Rhum dengan kualitas rendah biasa digunakan untuk campuran kue dan roti. Kue, roti, dan puding yang hampir selalu menggunakan rhum adalah semua hidangan kue dan roti yang menggunakan vla. Untuk membuat vla terasa lebih manis dan hangat, rhum adalah rahasianya. Rhum ini mengandung kadar alkohol mulai dari 0,5 sampai dengan 60% - tergantung jenis rhumnya dan harganya. Saat ini memang dikatakan ada rhum yang kadar alkoholnya 0%. Tapi, karena kita tinggal di Indonesia di mana informasi banyak yang menyesatkan, informasi ini juga perlu diperjelas lebih jauh. Apakah yang dimaksud rhum 0% itu rhum yang kadar alkoholnya nol koma sekian persen - atau rhum yang bebas dari alkohol. Rhum yang mengandung kadar alkohol nol koma sekian persen bagiku, tetaplah rhum yang sama haramnya dengan rhum 60%. Sedangkan rhum yang bebas dari alkohol sebenarnya BUKANLAH rhum, melainkan hanya saripati yang memiliki aroma seperti rhum.

... sekedar untuk tambahan informasi, wawasan, dan (mungkin) diskusi....
 tolong koment dunkkkkkkkkkkkkkkkzzzzzzzzzzzzzzzzz

2 komentar:

waw